KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN KEBUMEN

📌 ISLAM

Artikel
Faozan

Jalani Hidup dengan Bahagia

Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan persaingan dan keinginan, seringkali manusia lupa akan hakikat hidupnya yang sebenarnya. Hidup pada dasarnya adalah sebuah perjalanan linear dalam ruang dan waktu. Mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus terus berjalan mengikuti arus waktu yang telah ditetapkan. Dalam perjalanan ini, tiga ketetapan Ilahi telah mutlak: takdir telah tertulis di Lauhul Mahfuz, umur telah dibatasi, dan rezeki telah dibagi.Karena itu, sikap yang paling bijak adalah menjalaninya dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan, menerima apa adanya (qana’ah) dengan hati yang ikhlas. Namun, seringkali manusia terlena. Mereka mengira dunia adalah tujuan akhir, tempat mengejar segala ambisi tanpa batas. Mereka lupa bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, bagai seorang musafir yang berteduh di bawah sebatang pohon sebelum melanjutkan perjalanan panjang. Karena kelalaian inilah, Allah SWT mengingatkan hamba-Nya untuk bersegera menuju Darussalam, negeri abadi yang penuh keselamatan dan kedamaian. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ“Dan Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 25) Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi hidup? Pertama, hadapi dan syukuri. Setiap detik, baik senang maupun susah, adalah bagian dari perjalanan yang harus dijalani. Rasa syukur akan mengubah segala keterbatasan menjadi kecukupan dan ketenangan batin. Kedua, lakukan yang terbaik. Menerima takdir bukan berarti berdiam diri dan pasrah tanpa usaha. Justru, kita diperintahkan untuk berikhtiar maksimal dalam koridor yang Allah ridhai. Bekerja keraslah, berbuat baiklah, dan beribadah dengan sungguh-sungguh. Ketiga, ambillah bekal untuk negeri akhirat. Iman, takwa, dan amal shaleh adalah bekal utama yang tak ternilai harganya. Fokus kita harus tertuju pada tujuan akhir, yaitu meraih keridhaan Allah dan masuk ke dalam Darussalam. Meski tujuan akhir kita adalah akhirat, janganlah kita meninggalkan bagian kita di dunia. Mencari nafkah yang halal, membahagiakan keluarga, dan berbuat baik untuk sesama adalah bagian dari ibadah yang juga dicatat sebagai pahala. Yang keliru adalah ketika kita hanya mengejar bagian di dunia dan melupakan bekal untuk akhirat. Dengan demikian, hidup yang seimbang adalah kuncinya. Jalani hidup dengan penuh keyakinan, terima segala ketentuan-Nya dengan lapang dada, isi dengan ikhtiar dan amal terbaik, dan selalu ingat bahwa kebahagiaan sejati menanti di negeri keabadian, Darussalam. Oleh: K.H. Fatkhurohman, S.Ag, M.Pd (PAIF Kankemenag Kebumen)

Read More »
Artikel
Faozan

Mengenali Kondisi Hati

Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, dan sesungguhnya di dalam hati itu terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik (pula) seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.”. Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun Alaih). Qolbu atau hati menjadi sangat vital bagi setiap insan, untuk itu kita harus mengenali kondisi hati sendiri dalam kondisi yang seperti apa, apakah hati kita dalam kondisi 1) hati yang mati ( qolbun mayyitun) yakni kondisi yang tidak bisa lagi menerima kebenaran oleh siapapun. 2) hati yang sakit ( qolbun maridlun), ini bisa disebabkan karena kesombongan, harta, jabatan, ilmu atau status sosial, 3) hati yang lalai ( qolbun ghofilun) ini sangat bahaya karena hati yang seperti ini yang bersangkutan tahu hukum dan aturan tetapi berani melanggar, 4) hati sehat ( qolbun sihatun / qolbun salim) yakni hati yang senantiasa mudah menerima hidayah dari Alloh SWT dan mau menerima kebenaran yang disampaikan oleh siapapun tanpa memandang status siapa yang menyampaikan. Semoga hidayah taufiq dan mau’nah senantiasa mengantarkan hati kita selalu sehat A.Cholid Fikri (PAIF KUA Sruweng)Kultum 10 November 25

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

MAKNA BIAS SEMOGA SAMAWA

Penyuluh Islam Kabupaten Kebumen – Semoga samawa atau semoga menjadi keluarga samawa, ucapan ini sering kali kita dengar ketika teman atau saudara kita baru saja melangsungkan sebuah pernikahan. Ucapan semoga samawa mengandung maksud sebuah untaian do’a untuk mempelai berdua semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa-rohmah. Ucapan ini sudah begitu akrab di telinga kita sehingga seakan ucapan ini benar adanya dan sesuai dengan kaidah agama. Padahal Rosululloh SAW tidak pernah mengajarkan do’a seperti itu kepada umatnya, melainkan Rosululloh SAW mengajarkan ucapan do’a pada umatnya untuk mempelai berdua  barokallohu laka wa baroka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoir. Lalu apa sebenarnya sakinah, mawaddah dan wa-rohmah itu, yang kita singkat dengan samawa sebagai ucapan do’a ?. Ungkapan kata sakinah, mawaddah wa-rohmah kita ketahui termaktub dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21. Namun sesungguhnya kata sakinah juga termaktub dalam surat al-Fath ayat 4, surat al-Baqoroh ayat 248, surat at-Taubah ayat 26 dan beberapa surat lain dalam al-Qur’an. Dari kata sakinah pada beberapa ayat tersebut mengisyaratkan bahwa sakinah adalah milik Alloh SWT, ciptaan dan pemberian Alloh SWT semata, bukan buatan rekodoyo manusia atau mahluk lainnya. Begitupun dalam surat ar-Rum ayat 21, dimana ayat ini diawali dengan kata kholaqo sebelum kata sakinah, yang mengandung maksud bahwa dipertemukannya jodoh atau pasangan manusia dari jenis manusia itu sendiri karena adanya rasa sakinah atau condong, tentram, ayem yang telah Alloh SWT ciptakan. Rasa sakinah atau condong, tentram, ayem ini kemudian Alloh SWT sematkan dalam hati kedua insan manusia, sehingga mereka saling condong satu sama lainnya sebagai pasangan yang telah Alloh SWT tentukan. Jadi ketika pasangan sampai ke pelaminan atau setelah terjadinya pernikahan, mereka sesungguhnya sudah dibekali rasa sakinah oleh Alloh SWT. Maka dari itu Rosululloh SAW mengajarkan do’a barokalloh untuk kedua mempelai yang berarti ziyadatul khoir atau tambah bertambah kebaikannya, tabah bertambah rasa condongnya, tambah bertambah rasa tentramnya dan tambah bertambah rasa ayemnya. Dengan kata lain, sakinah merupakan bibit pemberian dari Alloh SWT yang telah ditanamkan dalam hati kedua mempelai, maka tugas utama mempelai berdua adalah menumbuh kembangkan rasa sakinah itu seiring dengan berjalannya waktu. Sedangkan kata mawadah dan wa-rohmah dalam surat ar-Rum ayat 21 diawali dengan kata ja’ala, yang secara maknawiyah sama dengan kholaqo yaitu menjadikan. Namun perlu diketahui, bahwa penggunaan kata kholaqo dilihat dari aspek penciptaan, menekankan otoritas dan kekuasaan Alloh SWT dalam menciptakan sesuatu yang baru, hal ini menujukkan bahwa Alloh SWT tidak membutuhkan bantuan siapapun dalam menciptakan sesuatu. Sedangkan penggunakan kata ja’ala dilihat dari aspek penciptaan, menekankan keterlibatan manusia dalam prosesnya atau hasil dari perubahan menjadi sesuatu yang baru. Kata ja’ala dalam ayat ini menunjukkan bahwa Alloh SWT menciptakan suatu resep atau formula, sedangkan yang mengelola menjadikan sesuatu yang baru tergantung pada usaha manusia atau mahluk-Nya. Ibarat Alloh SWT menciptakan bodin lengkap dengan unsur-unsur yang ada didalamnya adalah kholaqo, sedangkan dari unsur-unsur yang terkandung di dalam bodin manusia kemudian bisa menjadikan sesuatu yang baru, berupa gethuk, usel dan lain sebagainya, ini adalah ja’ala. Jadi dari rasa sakinah yang telah Alloh SWT sematkan dalam hati kedua mempelai, agar tumbuh subur dan berkembang dengan baik seiring dengan berjalannya waktu, Alloh SWT juga sudah memberikan resep atau formula berupa mawadah dan wa-rohmah untuk menumbuh kembangkan rasa sakinah itu sendiri, hal ini tergantung dari kedua mempelai dalam mewujudkannya.

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

Ketika Wayang Menjadi Jalan Dakwah

Penyuluh Islam Kabupaten Kebumen – Dakwah itu semestinya menyentuh hati dan akal sekaligus. Keduanya sama – sama bisa digunakan untuk berfikir dan merasai sesuatu. Dakwah umumnya dianggap berhasil jika mampu mencerahkan akal dan menaklukkan hati. Teringat dengan pesan dari ulama salaf “Apa yang keluar dari mulut, hanya akan diterima oleh telinga. Tapi apa yang keluar dari hati, akan diterima oleh hati”. Sebagaimana hati lelaki yang tersentuh oleh wanita, tanpa bedak pun akan terlihat cantik dimatanya. Demikian pula jika hati sudah tersentuh dakwah, tanpa harus dihujani dalil pun mereka akan mengikuti seruan dakwah. Menyentuh hati objek dakwah jauh lebih penting dan efektif dalam proses dakwah ketimbang menghadirkan beragam dalil dan hujjah. Dititik ini, kita bisa memahami mengapa dakwah kadang dihadirkan dengan banyak sarana, termasuk melalui simbol dan seni tertentu. Prinsipnya, semakin banyak pintu yang dibuka, semakin banyak pihak yang terlibat, semakin banyak pula orang yang akan memasuki dan menyambut seruan dakwah. Diantara jenis kesenian yang digunakan dalam dakwah (khususnya tabligh) adalah wayang kulit. Kesenian ini disebut – sebut memiliki peran besar dalam “menghijrahkan” keimanan masyarakat suku jawa, dari agama Hindu – Budha menuju kepada agama islam. Dengan proses modifikasi kreatif pada bentuk, konsep dan alur cerita, media wayang kulit sangat efektif untuk mensyiarkan nilai – nilai islam. Jika dulu banyak shahabat pandai bersyair, maka para dai di Jawa sangat lihai ndalang. Kuncinya, kita perlu berdamai dengan budaya. Didalam islam, setidaknya ada 3 jenis interaksi antara wahyu dengan budaya. Ada jenis budaya yang dikukuhkan menjadi syari’at, contohnya penghormatan kepada bulan haram dan tradisi musyawarah. Ada budaya yang diatur, misalnya perdagangan dan poligami. Ada juga yang dilarang, misalnya khamr dan maisir. Jadi tidak semua jenis budaya itu ditolak oleh syariat sebagaimana pemahaman sebagian aktivis dakwah. Disini, kita perlu mengoptimalkan ikhtiar dan daya pikir. Yakni, antara menjaga orisinalitas ajaran islam dengan proses dakwah yang mengharuskan adanya adaptasi dan asimilasi dengan masyatakat yang didakwahinya. Sulit dipungkiri, bahwa kedua model tersebut selalu mengalami friksi dan benturan. Jalan tengahnya, kita perlu selektif untuk mengadopsi jenis budaya tertentu, serta mengdaptasinya secara kreatif untuk digunakan sebagai sarana dakwah. Dan ini tugasnya kaum faqih, bukan kaum awam. Pendekatan budaya ini penting, karena masyarakat biasanya jauh lebih nyaman untuk berinteraksi dengan perkara yang sudah mereka kenal. Sejarah membuktikan, dakwah ditanah jawa berlangsung dengan soft dan gradual, bukan dengan pedang. Dakwah di Jawa adalah sebuah kisah sukses, berbasis akulturasi budaya. Kondisinya berbeda dengan dakwah di Burma dan Thailand, yang hingga sekarang masih didominasi Hindu – Budha, sedang Islam masih terus menjadi kelompok minoritas dan tertindas. Memang ada efek samping dari proses ini. Yakni adanya gejala sinkretisme dan kelompok islam abangan. Ini adalah PR yang harus diselesaikan oleh generasi selanjutnya. Dari sini, kita harus memiliki pandangan yang integral tentang periodisasi dakwah disuatu daerah. Antar generasi harus berbagi tugas dan saling menguatkan dakwah generasi sebelumnya. Bukan malah mengingkari da menyalahkan apa yang telah dirintis generasi sebelumnya. Jika mereka telah memulai suatu fase, maka tugas kita melanjutkan ke fase dan jenjang berikutnya. Hal lain yang harus dipahami, bahwa dakwah melalui jalur budaya berstatus sebagai hidangan pembuka dan diberikan kepada kaum awam. Hidangan utamanya tetap sama, yakni al qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Hal ini penting untuk dicermati, agar para dai tidak mengalami disorientasi dalam dakwahnya. Yakni menjadikan hidangan pembuka sebagai hidangan utama. Terlebih, dunia pewayangan memiliki basis ketuhanan yang berbeda dengan konsep tauhid islam. Contoh sederhananya, bagaimana cara kita meletakkan karakter Batara Guru dan kisah – kisah dikayangan dalam kacamata islam. Sisi lainnya lagi, karakter wayang itu fiktif. Sedangkan islam memiliki karakter nyata yang penuh dengan keutamaan, seperti para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin. Kita juga memiliki kewajiban untuk mengenalkan dan menceritakan kisah Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll kepada umat islam. Sumbernya melimpah ruah, dari kitab sirah, manaqib, hilyatul auliya hingga siyar a’lam an nubala. Dan untuk melakukan hal itu, kita tidak bisa menggunakan media wayang, karena karakternya tidak tersedia dan plot ceritanya tidak ada. Alhasil, media wayang kulit bisa dipergunakan sebagai sarana dakwah yang efektif ditengah masyarakat. Wayang kulit bisa menjadi tontonan yang menghibur sekaligus tuntunan yang bermanfaat. Namun tetap harus ditempatkan sesuai dengan proporsi dan kedudukannya. Wallahu a’lam.

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

The Dangers Of Marriage

Penyulus Islam Kabupaten Kebumen – MPK : Nikah merupakan amaliah ibadah terpanjang dan sunnah Rosululloh SAW yang sangat menyenangkan. Dengan menikah maka sempurna setengah dari agama seseorang, dan dengan nikah pula seseorang sempurna dalam menikmati semua kelezatan yang Alloh SWT ciptaan di dunia ini. Kelezatan adalah sesuatu yang nikmat dan diulang-ulang tidak ada bosan-bosannya, yaitu makan, minum, tidur dan jima’ Ada hal yang menarik sebuah pesan terselip dari Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi al-Ghozali atau yang lebih terkenal dengan sebutan Hujjatul Islam Imam al-Ghozali ditengah euforia sebuah pernikahan, yaitu affatun nikah atau the dangers of marriage. Pesan ini memang jarang kita dengar karena tertutup oleh hiruk pikuk obrolan nikah yang selalu indah dan menyenangkan dari mulut ke mulut dan dari panggung ke panggung, sehingga bahayanya nikah terlupakan begitu saja. Lebih lanjut Imam Ghozali mengatakan افة النكاح ثلاث bahayanya pernikahan ada tiga yaitu : Pertama, ketidakmampuan seorang suami mencari nafkah yang halal. Hal ini sangat berbahaya mengingat dari nafkah itu seorang suami makan dan memberi makan pada istri dan anak-anaknya. Bayangkan jika nafkah suami berasal dari hasil mencuri,  menipu, suap ataupun korupsi, kemudian dimakan oleh suami dan diolah dalam tubuhnya menjadi darah, daging, tulang dan juga sperma. Nafkah itu juga diberikan pada istri dan anak untuk makan dan biaya sekolah, mondok dan ibadah lainnya, maka apa jadinya keluarga kita ini dikemudian hari?. Imam Ghozali mengimbuhkan, ketidakmampuan seorang suami mencari nafkah yang halal akan merusak keturunan dan dzurriyyahnya.  Kedua, kegagalan dan kecerobohan seorang suami memenuhi hak-hak istri dan keluarga. Seorang suami yang mestinya menjadi nahkoda dalam sebuah kapal rumah tangga, tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sementara itu, dengan berdalih emansipasi wanita, seorang istri tampil begitu dominan sebagai pemimpin keluarga bahkan seorang suami mampu dia setir sedemikian rupa. Keadaan seperti ini menurut Imam Ghozali sangat berbahaya sebab keluarga akan menjadi ladang yang sangat subur untuk menumbuh kembangkan sifat dan sikap nuzus, tabarruj dan dayyuts dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Ketiga, jika anak, istri dan keluarga telah memengokan seorang suami dari taat pada Alloh SWT dan menyibukkan bahkan menggilakan seorang suami dalam mengejar dunia untuk memenuhi tuntutan-tuntutan anak dan istri. Seorang suami yang dituntut kewajiban utama menjaga anak dan istri dari siksa api neraka justru disibukkan oleh anak dan istri dalam urusan dunia semata, hingga melalaikan ketaatan pada Alloh SWT. Hanya karena tuntutan anak dan istri ingin baju baru di hari lebaran Idhul Fitri, seorang suami rela meninggalkan kewajiban berpuasa di bulan Romadhon, ini fakta. Hal ini menurut Imam Ghozali sangat berbahaya sebab waktu dan ibadah suami tersita habis untuk mengejar dunia. Kewajiban membimbing anak dan istri menggapai ridho Alloh SWT dalam sebuah pernikahan telah tergadaikan oleh kepentingan dunia semata.  Wallohu ‘aklam

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

Muwassain Wa Mudhayyiqin Fii Sabilillah

Penyuluh Islam Kabupaten Kebumen – MPK : Siapapun dan apapun profesinya, bagi seorang muslim yang taat tentu setiap aktifitas hidupnya akan senantiasa mengharap ridho Alloh SWT dan berjalan lurus di jalan Alloh SWT. Bagi seorang guru pengabdiannya mengajar tentu dilatarbelakangi niat ibadah untuk menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT, begitu juga bagi para pelajar, petani, nelayan, buruh, pimpinan pesantren, pejabat dan lain sebagainya. Semua aktifitas mereka tentu sama, yaitu niat ibadah untuk menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT. Ketika aktifitas ibadah mereka semua bertujuan menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT, apakah mereka layak dimasukan dalam kriteria fii sabilillah ? Kalau kita merujuk pada al-Qur’an surat at–Taubah ayat 60, fii sabilillah merupakan salah satu ashnaf atau kelompok yang berhak menerima zakat. Lalu siapa itu fii sabilillah di era millennial sekarang ini?, apakah masih ada?, apakah harus ada? atau harus dipaksa ada dengan diada-adakan?. Pemahaman fii sabilillah dikalangan ulama memang telah mengalami bias antara kelompok kecenderungan muwassain atau peluasan makna fii sabilillah dan kelompok kecenderungan mudhayyiqin atau penyempitan makna fii sabilillah. Bagi ulama yang beraliran mudhayyiqin mereka tetap bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fii sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasululloh SAW dan para sahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara fisik. Ada tidaknya fii sabilillah di era millennial tidaklah penting bagi mereka. Sedangkan bagi ulama yang beraliran muwassain mereka cenderung untuk memperluas maknanya, yaitu bagi perjuangan di jalan Alloh SWT, sehingga zakat bisa lebih bermanfaat dan boleh untuk biaya dakwah serta kepentingan umat Islam secara umum. Menurut empat imam mazhab yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali mereka termasuk yang cenderung kepada pendapat mudhayyiqin atau penyempitan makna, mereka mengatakan bahwa yang termasuk fii sabilillah adalah para mujahidin yang bertempuran fisik melawan musuh-musuh Alloh SWT dalam rangka menegakkan Agama Islam. Sedang menurut ulama kontemporer seperti Syeich Muhammad Rasyid Ridho, Syeich Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi dan para ulama yang lainnya, mereka cenderung untuk meluaskan makna fii sabilillah tidak hanya terbatas pada mujahidin yang bertempur fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain. Dasar pendapat mereka ini merupakan ijtihad yang sifatnya lebih luas dalam konteks fiqh prioritas. Lahan-lahan jihad fii sabilillah secara fisik hampir tidak ada lagi, sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang terbengkalai di plosok-plosok pedalaman dan negara-negara minoritas muslim perlu pasokan dana besar untuk menegakan Agama Islam di sana.  Sementara menurut UU-RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sama sekali tidak disebutkan siapa dan bagaimana kriteria dari masing-masing ashnaf yang berhak menerima zakat. Dalam pasal 25 hanya dikatakan bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahiq sesuai syari’at Islam. Pasal 26 dikatakan penditribusian zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dilakukan berdasarakan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan kewilayahan. Siapa dan bagaimana kriteria fii sabilillah dan masih ada tidaknya fii sabilillah di Indonesia, semua itu tidak diterangkan lebih lanjut dalam regulasi yang ada. Hal inilah yang menjadikan semakin bias fii sabilillah dalam pandangan masyarakat kita, dikit-dikit dimasukan kriteria fii sabilillah.  Bias fii sabilillah, anda pilih yang sempit apa yang luas?   Wallohu ‘Aklam

Read More »

Website resmi Kementerian Agama Kabupaten Kebumen

Nilai Pelayanan Kami DIsini

© 2025 Kementerian Agama Kabupaten Kebumen