KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN KEBUMEN

📌 ISLAM

Artikel
Khafid Ashari

Ketika Wayang Menjadi Jalan Dakwah

Penyuluh Islam Kabupaten Kebumen – Dakwah itu semestinya menyentuh hati dan akal sekaligus. Keduanya sama – sama bisa digunakan untuk berfikir dan merasai sesuatu. Dakwah umumnya dianggap berhasil jika mampu mencerahkan akal dan menaklukkan hati. Teringat dengan pesan dari ulama salaf “Apa yang keluar dari mulut, hanya akan diterima oleh telinga. Tapi apa yang keluar dari hati, akan diterima oleh hati”. Sebagaimana hati lelaki yang tersentuh oleh wanita, tanpa bedak pun akan terlihat cantik dimatanya. Demikian pula jika hati sudah tersentuh dakwah, tanpa harus dihujani dalil pun mereka akan mengikuti seruan dakwah. Menyentuh hati objek dakwah jauh lebih penting dan efektif dalam proses dakwah ketimbang menghadirkan beragam dalil dan hujjah. Dititik ini, kita bisa memahami mengapa dakwah kadang dihadirkan dengan banyak sarana, termasuk melalui simbol dan seni tertentu. Prinsipnya, semakin banyak pintu yang dibuka, semakin banyak pihak yang terlibat, semakin banyak pula orang yang akan memasuki dan menyambut seruan dakwah. Diantara jenis kesenian yang digunakan dalam dakwah (khususnya tabligh) adalah wayang kulit. Kesenian ini disebut – sebut memiliki peran besar dalam “menghijrahkan” keimanan masyarakat suku jawa, dari agama Hindu – Budha menuju kepada agama islam. Dengan proses modifikasi kreatif pada bentuk, konsep dan alur cerita, media wayang kulit sangat efektif untuk mensyiarkan nilai – nilai islam. Jika dulu banyak shahabat pandai bersyair, maka para dai di Jawa sangat lihai ndalang. Kuncinya, kita perlu berdamai dengan budaya. Didalam islam, setidaknya ada 3 jenis interaksi antara wahyu dengan budaya. Ada jenis budaya yang dikukuhkan menjadi syari’at, contohnya penghormatan kepada bulan haram dan tradisi musyawarah. Ada budaya yang diatur, misalnya perdagangan dan poligami. Ada juga yang dilarang, misalnya khamr dan maisir. Jadi tidak semua jenis budaya itu ditolak oleh syariat sebagaimana pemahaman sebagian aktivis dakwah. Disini, kita perlu mengoptimalkan ikhtiar dan daya pikir. Yakni, antara menjaga orisinalitas ajaran islam dengan proses dakwah yang mengharuskan adanya adaptasi dan asimilasi dengan masyatakat yang didakwahinya. Sulit dipungkiri, bahwa kedua model tersebut selalu mengalami friksi dan benturan. Jalan tengahnya, kita perlu selektif untuk mengadopsi jenis budaya tertentu, serta mengdaptasinya secara kreatif untuk digunakan sebagai sarana dakwah. Dan ini tugasnya kaum faqih, bukan kaum awam. Pendekatan budaya ini penting, karena masyarakat biasanya jauh lebih nyaman untuk berinteraksi dengan perkara yang sudah mereka kenal. Sejarah membuktikan, dakwah ditanah jawa berlangsung dengan soft dan gradual, bukan dengan pedang. Dakwah di Jawa adalah sebuah kisah sukses, berbasis akulturasi budaya. Kondisinya berbeda dengan dakwah di Burma dan Thailand, yang hingga sekarang masih didominasi Hindu – Budha, sedang Islam masih terus menjadi kelompok minoritas dan tertindas. Memang ada efek samping dari proses ini. Yakni adanya gejala sinkretisme dan kelompok islam abangan. Ini adalah PR yang harus diselesaikan oleh generasi selanjutnya. Dari sini, kita harus memiliki pandangan yang integral tentang periodisasi dakwah disuatu daerah. Antar generasi harus berbagi tugas dan saling menguatkan dakwah generasi sebelumnya. Bukan malah mengingkari da menyalahkan apa yang telah dirintis generasi sebelumnya. Jika mereka telah memulai suatu fase, maka tugas kita melanjutkan ke fase dan jenjang berikutnya. Hal lain yang harus dipahami, bahwa dakwah melalui jalur budaya berstatus sebagai hidangan pembuka dan diberikan kepada kaum awam. Hidangan utamanya tetap sama, yakni al qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Hal ini penting untuk dicermati, agar para dai tidak mengalami disorientasi dalam dakwahnya. Yakni menjadikan hidangan pembuka sebagai hidangan utama. Terlebih, dunia pewayangan memiliki basis ketuhanan yang berbeda dengan konsep tauhid islam. Contoh sederhananya, bagaimana cara kita meletakkan karakter Batara Guru dan kisah – kisah dikayangan dalam kacamata islam. Sisi lainnya lagi, karakter wayang itu fiktif. Sedangkan islam memiliki karakter nyata yang penuh dengan keutamaan, seperti para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin. Kita juga memiliki kewajiban untuk mengenalkan dan menceritakan kisah Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll kepada umat islam. Sumbernya melimpah ruah, dari kitab sirah, manaqib, hilyatul auliya hingga siyar a’lam an nubala. Dan untuk melakukan hal itu, kita tidak bisa menggunakan media wayang, karena karakternya tidak tersedia dan plot ceritanya tidak ada. Alhasil, media wayang kulit bisa dipergunakan sebagai sarana dakwah yang efektif ditengah masyarakat. Wayang kulit bisa menjadi tontonan yang menghibur sekaligus tuntunan yang bermanfaat. Namun tetap harus ditempatkan sesuai dengan proporsi dan kedudukannya. Wallahu a’lam.

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

The Dangers Of Marriage

Penyulus Islam Kabupaten Kebumen – MPK : Nikah merupakan amaliah ibadah terpanjang dan sunnah Rosululloh SAW yang sangat menyenangkan. Dengan menikah maka sempurna setengah dari agama seseorang, dan dengan nikah pula seseorang sempurna dalam menikmati semua kelezatan yang Alloh SWT ciptaan di dunia ini. Kelezatan adalah sesuatu yang nikmat dan diulang-ulang tidak ada bosan-bosannya, yaitu makan, minum, tidur dan jima’ Ada hal yang menarik sebuah pesan terselip dari Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi al-Ghozali atau yang lebih terkenal dengan sebutan Hujjatul Islam Imam al-Ghozali ditengah euforia sebuah pernikahan, yaitu affatun nikah atau the dangers of marriage. Pesan ini memang jarang kita dengar karena tertutup oleh hiruk pikuk obrolan nikah yang selalu indah dan menyenangkan dari mulut ke mulut dan dari panggung ke panggung, sehingga bahayanya nikah terlupakan begitu saja. Lebih lanjut Imam Ghozali mengatakan افة النكاح ثلاث bahayanya pernikahan ada tiga yaitu : Pertama, ketidakmampuan seorang suami mencari nafkah yang halal. Hal ini sangat berbahaya mengingat dari nafkah itu seorang suami makan dan memberi makan pada istri dan anak-anaknya. Bayangkan jika nafkah suami berasal dari hasil mencuri,  menipu, suap ataupun korupsi, kemudian dimakan oleh suami dan diolah dalam tubuhnya menjadi darah, daging, tulang dan juga sperma. Nafkah itu juga diberikan pada istri dan anak untuk makan dan biaya sekolah, mondok dan ibadah lainnya, maka apa jadinya keluarga kita ini dikemudian hari?. Imam Ghozali mengimbuhkan, ketidakmampuan seorang suami mencari nafkah yang halal akan merusak keturunan dan dzurriyyahnya.  Kedua, kegagalan dan kecerobohan seorang suami memenuhi hak-hak istri dan keluarga. Seorang suami yang mestinya menjadi nahkoda dalam sebuah kapal rumah tangga, tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sementara itu, dengan berdalih emansipasi wanita, seorang istri tampil begitu dominan sebagai pemimpin keluarga bahkan seorang suami mampu dia setir sedemikian rupa. Keadaan seperti ini menurut Imam Ghozali sangat berbahaya sebab keluarga akan menjadi ladang yang sangat subur untuk menumbuh kembangkan sifat dan sikap nuzus, tabarruj dan dayyuts dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Ketiga, jika anak, istri dan keluarga telah memengokan seorang suami dari taat pada Alloh SWT dan menyibukkan bahkan menggilakan seorang suami dalam mengejar dunia untuk memenuhi tuntutan-tuntutan anak dan istri. Seorang suami yang dituntut kewajiban utama menjaga anak dan istri dari siksa api neraka justru disibukkan oleh anak dan istri dalam urusan dunia semata, hingga melalaikan ketaatan pada Alloh SWT. Hanya karena tuntutan anak dan istri ingin baju baru di hari lebaran Idhul Fitri, seorang suami rela meninggalkan kewajiban berpuasa di bulan Romadhon, ini fakta. Hal ini menurut Imam Ghozali sangat berbahaya sebab waktu dan ibadah suami tersita habis untuk mengejar dunia. Kewajiban membimbing anak dan istri menggapai ridho Alloh SWT dalam sebuah pernikahan telah tergadaikan oleh kepentingan dunia semata.  Wallohu ‘aklam

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

Muwassain Wa Mudhayyiqin Fii Sabilillah

Penyuluh Islam Kabupaten Kebumen – MPK : Siapapun dan apapun profesinya, bagi seorang muslim yang taat tentu setiap aktifitas hidupnya akan senantiasa mengharap ridho Alloh SWT dan berjalan lurus di jalan Alloh SWT. Bagi seorang guru pengabdiannya mengajar tentu dilatarbelakangi niat ibadah untuk menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT, begitu juga bagi para pelajar, petani, nelayan, buruh, pimpinan pesantren, pejabat dan lain sebagainya. Semua aktifitas mereka tentu sama, yaitu niat ibadah untuk menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT. Ketika aktifitas ibadah mereka semua bertujuan menggapai ridho dan berjuang di jalan Alloh SWT, apakah mereka layak dimasukan dalam kriteria fii sabilillah ? Kalau kita merujuk pada al-Qur’an surat at–Taubah ayat 60, fii sabilillah merupakan salah satu ashnaf atau kelompok yang berhak menerima zakat. Lalu siapa itu fii sabilillah di era millennial sekarang ini?, apakah masih ada?, apakah harus ada? atau harus dipaksa ada dengan diada-adakan?. Pemahaman fii sabilillah dikalangan ulama memang telah mengalami bias antara kelompok kecenderungan muwassain atau peluasan makna fii sabilillah dan kelompok kecenderungan mudhayyiqin atau penyempitan makna fii sabilillah. Bagi ulama yang beraliran mudhayyiqin mereka tetap bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fii sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasululloh SAW dan para sahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara fisik. Ada tidaknya fii sabilillah di era millennial tidaklah penting bagi mereka. Sedangkan bagi ulama yang beraliran muwassain mereka cenderung untuk memperluas maknanya, yaitu bagi perjuangan di jalan Alloh SWT, sehingga zakat bisa lebih bermanfaat dan boleh untuk biaya dakwah serta kepentingan umat Islam secara umum. Menurut empat imam mazhab yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali mereka termasuk yang cenderung kepada pendapat mudhayyiqin atau penyempitan makna, mereka mengatakan bahwa yang termasuk fii sabilillah adalah para mujahidin yang bertempuran fisik melawan musuh-musuh Alloh SWT dalam rangka menegakkan Agama Islam. Sedang menurut ulama kontemporer seperti Syeich Muhammad Rasyid Ridho, Syeich Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi dan para ulama yang lainnya, mereka cenderung untuk meluaskan makna fii sabilillah tidak hanya terbatas pada mujahidin yang bertempur fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain. Dasar pendapat mereka ini merupakan ijtihad yang sifatnya lebih luas dalam konteks fiqh prioritas. Lahan-lahan jihad fii sabilillah secara fisik hampir tidak ada lagi, sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang terbengkalai di plosok-plosok pedalaman dan negara-negara minoritas muslim perlu pasokan dana besar untuk menegakan Agama Islam di sana.  Sementara menurut UU-RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sama sekali tidak disebutkan siapa dan bagaimana kriteria dari masing-masing ashnaf yang berhak menerima zakat. Dalam pasal 25 hanya dikatakan bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahiq sesuai syari’at Islam. Pasal 26 dikatakan penditribusian zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dilakukan berdasarakan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan kewilayahan. Siapa dan bagaimana kriteria fii sabilillah dan masih ada tidaknya fii sabilillah di Indonesia, semua itu tidak diterangkan lebih lanjut dalam regulasi yang ada. Hal inilah yang menjadikan semakin bias fii sabilillah dalam pandangan masyarakat kita, dikit-dikit dimasukan kriteria fii sabilillah.  Bias fii sabilillah, anda pilih yang sempit apa yang luas?   Wallohu ‘Aklam

Read More »

Website resmi Kementerian Agama Kabupaten Kebumen

Nilai Pelayanan Kami DIsini

© 2025 Kementerian Agama Kabupaten Kebumen