KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN KEBUMEN

📌 Buddha

Artikel
Khafid Ashari

Sarana Puja Dalam Kemegahan Altar Pemujaan

Penyuluh Buddha, Kab. Kebumen – “Dua macam puja (penghormatan, oh para bhikkhu, yaitu: pujaan dengan benda (āmisa-pūjā) dan pujaan dengan praktik (paṭipatti-pūjā). Di antara keduanya, pujaan dengan praktik adalah yang tertinggi. (Anguttara Nikāya II.88)         Puja bakti agama Buddha di vihara tidak terlepas dari Altar dan Sarana puja. Apalagi ketika perayaan hari besar agama Buddha, maka berbagai macam hiasan dan sarana puja seakan memenuhi altar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan rasa Syukur.         Sarana Puja juga merupakan symbol-simbol atau perlambangan yang memiliki Filosofi tersendiri bukan hanya sekedar hiasan yang memperindah altar. Sehingga tidak semua hal dapat di persembahkan atau dijadikan sarana puja. Adapun yang biasanya dijadikan sarana puja di altar adalah, Rupang Buddha (Patung Buddha), Buah, Air, Dupa, Bunga, Lilin/Pelita.         Rupang Buddha sebagai manifestasi dari Welas Asih dan kebijaksanaan Buddha. Simbol Keagungan Buddha dan pengingat jasa beliau yang telah mengajarkan Dhamma. Perlu dipahami bukan Rupangnya yang kita sembah tetapi jasa Kebajikan Buddha yang kita hormati dan kita renungkan. Rupang Buddha hanya sebagai sarana agar kita lebih mudah dalam melakukan pemujaan (penghormatan). Meski dalam tahap tertentu tanpa adanya rupang Buddha kita tetap dapat melakukan Puja Bakti.         Dalam sarana puja, Buah melambangkan perbuatan atau karma. Karena segala hal yang kita lakukan, sekecil apapun perbuatan kita, baik atau buruk akan menimbulkan akibat atau Buah karma (vipaka). Jadi persembahan Buah mengingatkan kita untuk bertekad menanam Kebajikan sehingga kita dapat memanen kebahagiaan. Selain Buah, di altar biasanya ada air. Air yang jernih melambangkan pikiran yang bersih dari kekotoran batin (kilesa) seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Umat yang mempersembahkan air di altar diingatkan untuk menjaga pikiran tetap murni dan tenang seperti air yang tidak keruh. Air juga melambangkan sikap rendah hati dan tidak sombong karena sifat air yang mengalir ke tempat yang rendah,  sifat yang penting bagi seorang praktisi Dhamma. Ketika memasuki Dharmasala maka kita akan mencium wewangian yang khas dari asap dupa yang di bakar.  Asap dan aroma dupa yang harum melambangkan kebajikan, moralitas (sīla), dan perbuatan baik yang menyebar ke segala arah. Sebagaimana dupa yang terbakar menebarkan wangi, demikian pula perilaku bajik seseorang akan dikenal dan dihormati oleh banyak orang. Dupa yang habis terbakar melambangkan pengorbanan tanpa pamrih. Ia memberi keharuman sambil “menghabiskan dirinya” simbol ketulusan dalam berdana dan berlatih Dhamma. “Harumnya bunga, tidak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan, dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru”. (Dhammapada, Syair 54) Bunga adalah salah satu persembahan yang paling umum dan penuh makna simbolis. Bunga yang indah pada awalnya akan layu dan gugur. Hal ini mengingatkan umat bahwa semua hal yang indah dan menyenangkan bersifat sementara tidak kekal, berubah, dan akhirnya lenyap.  Bunga yang dipersembahkan sebagai tanda hormat kepada Buddha, sebagai guru agung yang telah menunjukkan jalan menuju pembebasan. Yang terakhir adalah sarana Lilin atau Pelita. Lilin atau pelita dalam altar Buddhis melambangkan penerangan, kebijaksanaan, keikhlasan, dan semangat untuk menjadi pelita bagi sesama makhluk. Cahaya di altar mengingatkan bahwa Buddha adalah penerang dunia (lokānukampā). Dari hal diatas dapat kita pahami Bersama bahwa sarana puja dialtar bukan bentuk hiasan atau sesaji bahkan berhala, tetapi sebagai simbol-simbol yang memiliki makna mendalam yang dapat mengingatkan kita dalam menjaga perilaku agar selalu berpedoman pada Buddha Dhamma atau ajaran Buddha. Teguh Prassetya, S.Dt.B (Penyuluh Buddha, Kab. Kebumen)

Read More »
Artikel
Faozan

Masa Depanku Ditentukan dari Karmaku

Penyuluh Buddha Kebumen – “Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain”. (Dhammapada, Syair 165)         Didalam agama Buddha ada satu hukum kesunyataan yang mutlak, yang disebut dengan hukum Karma atau Kamma yang diartikan sebagai perbuatan. Perbuatan ini muncul dari tiga hal pada manusia yaitu melalui Ucapan, badan jasmani dan Pikiran yang di dasari oleh niat atau Cetana. Karma bukan hanya meliputi perbuatan Buruk tetapi juga Perbuatan baik, karena hasil dari suatu perbuatan itu tergantung dari Niatnya, sehingga perbuatan baik pasti diawali dengan niat Baik begitu pula sebaliknya. “Segala sesuatu didahului oleh pikiran, dikuasai oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti jejak kaki lembu.” (Dhammapada, Syair 01)         Sekecil apapun perbuatan kita pasti menimbulkan Vipaka. Vipaka yaitu akibat atau hasil yang muncul dari perbuatan tersebut. Jadi setiap perbuatan baik atau buruk yang kita lakukan akan memunculkan akibat sesuai perbuatan yang kita lakukan. Bisa berbuah pada saat ini, besok, lusa atau bahkan di kehidupan yang akan datang tergantung kondisi pendukung berbuahnya karma yang kita lakukan. Hasil karma yang kita lakukan tidak selalu langsung berbuah saat itu juga tetapi adanya kondisi-kondisi tertentu dan itu bukan hanya satu sebab tetapi banyak sebab. Jika kita ingin perbuatan-perbuatan baik kita cepat berbuah maka perlu dikondisikan dengan melakukan Kebajikan-kebajikan yang baru agar cepat berbuah.         Tetapi, terkadang orang yang kurang bijaksana tidak menyadari dan mengira perbuatan buruknya tidak akan berbuah sehingga dia terus menerus melakukan hal buruk dan pada akhirnya karena kurangnya Kebajikan maka penderitaan menghampirinya, seperti yang tertulis dalam kitab Dhammapada, Syair 69 : “Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak,maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan”. Oleh karena itu kita harus bijak dalam berbuat, karena pada dasarnya kondisi kita dimasa akan datang tergantung dari perbuatan kita saat ini. Kitalah yang mendesain masa depan kita melalui perbuatan kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Hanya melalui Kebajikan-kebajikan yang lakukan, kita akan terselamatkan dari segala penderitaan dan mencapai kebahagiaan. By. Teguh Prassetya Penyuluh Buddha Kebumen

Read More »
Artikel
Khafid Ashari

Membangun Keluarga Harmonis Berlandaskan Buddha Dharma

Penyuluh Buddha Kab. Kebumen – Dalam agama Buddha system kemasyarakatan dibagi menjadi dua yaitu perumah tangga (Garavasa) dan kehidupan meninggalkan rumah yang disebut dengan Pabbajita. Kehidupan Pabajjita fokus dalam pembinaan diri dan pembinaan umat serta penuh kesederhanaan. Sedangkan para perumah tangga sebagian besar hidupnya penuh keduniawian. sehingga umat perumah tangga perlu bimbingan dari Pabajjita yang dalam hal ini adalah Anggota Sangha. Para umat yang memilih menjadi Gravasa membentuk keluarga kecil sebagai tempat bagi seseorang untuk belajar, berlatih, dan mengembangkan kebajikan. Hubungan keluarga bukan hanya ikatan darah, tetapi juga hasil dari hukum kamma (karma), di mana pertemuan dan kebersamaan anggota keluarga adalah buah dari perbuatan di masa lampau. Orang tua, pasangan, maupun anak-anak saling menjadi sarana berlatih kesabaran, cinta kasih (mettā), dan kasih sayang (karuṇā). Dengan saling menghormati, melindungi, dan menolong, terciptalah keharmonisan keluarga sekaligus kesempatan menambah pahala kebajikan. Orang tua digambarkan sebagai ‘Timur’ bagi anak-anaknya, yang berarti mereka adalah awal, sumber bimbingan dan perlindungan. Suami adalah ‘Barat’ bagi istrinya, yang berarti ia adalah penutup, pelindung dan penanggung jawab keluarga. Istri adalah ‘Timur’ bagi suaminya, memberikan dukungan, kasih sayang, dan kehangatan dalam rumah tangga. (Dīgha Nikāya 31 (Sigālovāda Sutta)) Dengan tercapainya hal-hal di atas maka keluarga bahagia dapat tercapai, bukan hanya sebagai impian belaka. ntuk menjaga keharmonisan dalam keluarga dapat dilakukan dengan beberapa hal, antara lain: (1) Saling menghormati dan menghargai, (2) Menjalankan komunikasi dengan penuh cinta kasih (mettā-vācā). (3) Mengendalikan diri sesuai sila, sehingga tidak menyakiti satu sama lain. (4) Menumbuhkan kemurahan hati dan kebersamaan. (5) Berlatih kesabaran dan pengertian dalam menghadapi perbedaan. Menjaga keharmonisan keluarga adalah bagian dari praktik Dhamma sehari-hari, yang membawa kedamaian di rumah tangga dan menjadi bekal menuju kebahagiaan sejati. By. Teguh Prassetya, Penyuluh Buddha Kab. Kebumen

Read More »
Artikel
Faozan

Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Era Digital dan Global

Penyuluh Buddha, Kab. Kebumen – ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan. Konsentrasi, ketika disertai moralitas, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Kebijaksanaan, ketika disertai konsentrasi, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Pikiran yang disertai kebijaksanaan akan secara total terbebas dari kekotoran, yaitu, kekotoran indria, penjelmaan, pandangan salah, dan kebodohan.’ (DN 16: Mahāparinibbāna Sutta) Sila di dalam Buddhisme merupakan bentuk kemoralan, Kemoralan merupakan dasar aturan latihan yang terdiri dari lima Latihan yang biasa disebut Pancasila. lima aturan ini untuk melatih seseorang agar dapat mengendalikan perbuatannya dan melindungi dirinya dari perbuatan jahat dan akibat dari perbuatan jahat. Pancasila Buddhis yang terdiri dari Lima sila yaitu: (1) Aku bertekad melatih menahan diri dari membunuh makhluk hidup, (2)Aku bertekad melatih menahan diri dari mengambil barang yang tak diberikan, (3) Aku bertekad melatih menahan diri dari perbuatan asusila, (4) Aku bertekad melatih menahan diri dari bicara yang tidak benar, (5) Aku bertekad melatih menahan diri dari tidak makan makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan. Pancasila sebagai wujud perlindung bagi orang yang melaksanakannya, merupakan hal yang dibutuhkan. Dengan adanya Pancasila Buddhis sebagai landasan umat Buddha dalam menjalani kehidupan sehari-hari dapat dijadikan system control bagi kita agar tidak terbawa arus kemajuan teknologi di Era digital dan Global. Sehingga Pancasila Buddhis Bukan hanya relevan tetapi justru dibutuhkan. Memiliki moralitas yang baik sangat dibutuhkan agar bisa berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi di Era digital saat ini agar tidak tergerus dalam perkembangan digital dan akhirnya terjerumus ke hal yang negative. Perlu diketahui arah perkembangan era digital tidak hanya menyasar bagi orang tua tetapi juga pada pemuda, remaja serta anak-anak. Dan dampak yang di timbulkan bukan hanya positif tetapi juga negative, sehingga perlu adanya pembatas sebagai pelindung agar era Digital membawa hal yang positif bagi kita  yaitu dengan pelaksanaan praktik Pancasila Buddhis. Kita tahu bahwa saat di Era Digital dan Global manusia tidak dapat terlepas dari media sosial dalam aspek kehidupan sehari-hari, baik untuk mengabarkan sesuatu, mencari penghasilan dan lain sebagainya. Sehingga jika tidak ada pembatasan atau pedoman serta perlindungan diri melalui praktik Sila, maka akan menimbulkan kerugian bagi diri sendiri ataupun orang lain. Moralitas Buddhis yang terwujud dalam Pancasila Buddhis menjadi landasan dan Perlindungan yang Relevan serta dibutuhkan agar umat tidak terperosok ke dalam penderitaan di Era Digital dan Global. Buddha mengajarkan moralitas dengan tujuan berikut: Sīlena sugatiṁ, Sīlena bhogasampadā, Sīlena nībbutiṁ, Tasmā sīlaṁ visodhaye, Yang artinya: Dengan merawat Sila, tercapai alam bahagia. Dengan merawat Sila, diperoleh kekayaan (lahir dan batin), Dengan merawat Sila, tercapai padamnya kilesa (kekotoran batin). Oleh karena itu, rawatlah Sila dengan sempurna. Buddha Juga menegaskan dalam Kitab Māhaparinībbānā Suttā ada 5 manfaat dari pelaksaan sila. Yaitu: mendapatkan kekayaan yang berlimpah melalui usaha yang giat dan tekun, reputasi baiknya tersebar luas, penuh percaya diri dalam pergaulan, meninggal dengan tenang, dan setelah meninggal dunia terlahir kembali di alam surga. Teguh Prassetya, S.Dt.B Penyuluh Buddha, Kab. Kebumen

Read More »

Website resmi Kementerian Agama Kabupaten Kebumen

Nilai Pelayanan Kami DIsini

© 2025 Kementerian Agama Kabupaten Kebumen