Pesan Isra’ Mi’raj Menurut Muhammad Iqbal
Oleh: Rusdi, MA*
Konon, penyair kenamaan asal Sialkot, India, Muhammad Iqbal, dalam salah satu pernyataannya mengatakan, bahwa seandainya dirinya waktu itu yang ‘diperjalankan’ oleh Allah SWT dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, dia bersumpah tidak akan bersedia untuk kembali diturunkan ke bumi. “Demi Allah saya tidak mau dikembalikan ke bumi.” Begitulah tutur Iqbal.
Pernyataan Iqbal tersebut sepintas hampa makna karena cenderung merupakan ungkapan bernada khayali belaka. Tetapi sebagai seorang penyair yang sekaligus juga dikenal sebagai salah satu sufi besar dari Timur, apa yang diungkapkan Iqbal mengandung gurat-gurat makna serta alasan-alasan filosofis yang menurut penulis perlu kita pelajari bersama.
Artinya, Iqbal tidak sedang mengigau dengan pernyataannya tersebut. Namun sebaliknya, ada pemikiran khas layaknya seorang sufi yang melatarbelakangi kenapa ‘murid’ Jalaluddin Rumi itu melontarkan pernyataan demikian.
Dalam Islam, peristiwa Isra’ Mi’raj yang tahun ini diperingati pada tanggal 28 Februari 2022, dikenal sebagai peristiwa penting yang menjadi muasal diwajibkannya ibadah salat. Peristiwa ini juga menjadi penawar bagi Rasulullah SAW yang kala itu dilanda ‘kesedihan’ oleh kepergian istri pertamanya, Sayyidah Khadijah dan pamannya, Abu Thalib; dua orang yang pernah menjadi garda terdepan dalam melindungi keselamatan Nabi di fase-fase awal memperkenalkan agama Islam.
Selain itu, peristiwa Isra’ Mi’raj juga menjadi jawaban telak bagi orang-orang Yahudi Mekkah kala itu yang menentang kenabian Muhammad dengan alasan beliau tidak memiliki hubungan genealogis dengan Baitul Maqdis Palestina. Sementara, dalam sejarah, semua para Nabi dan Rasul memiliki persambungan dengan bumi Palestina atau berasal dari sana. “Jangankan memiliki hubungan dengan Palestina, kau sendiri belum pernah ke sana dan tidak tahu seluk beluk Al-Aqsha,” itulah sanggahan orang-orang Yahudi Mekah kepada Rasulullah SAW.
Karena itulah dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, rute perjalanan Rasulullah SAW dimulai dari Masjid al-Haram, Mekkah, ke Masjid al-Aqsha Palestina sebelum akhirnya Mi’raj menghadap Allah Swt. Bahkan dalam peristiwa Mi’raj inilah Rasulullah Saw dipertemukan dengan para Nabi dan Rasul keturunan Ya’qub (Bani Israil) yang sebagian keturunannya banyak tersebar di Palestina.
Maka sekembalinya dari Mi’raj ke Mekkah, Rasulullah SAW di hadapan para Yahudi Mekkah waktu itu dapat menjelaskan secara detail ciri-ciri Masjid Aqsha. Bahkan Rasulullah SAW juga menjelaskan ciri-ciri fisik para Nabi dan Rasul Bani Israil yang ditemuinya secara persis sama dengan apa yang dipahami oleh orang-orang Yahudi Mekkah kala itu.
Dari sekian rangkaian perjalanan Isra’, peristiwa Mi’rajnya Rasulullah kepada Allah SWT inilah yang menjadi salah satu fokus perhatian Iqbal. Peristiwa itu digambarkan sebagai peristiwa ‘bertemunya’ Sang Maha Kekasih dengan yang dikasihinya. Dalam ajaran Islam, pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya merupakan peristiwa puncak dan peristiwa paling istimewa yang tidak ada bandingannya.
Dalam berbagai literatur sufistik, kita tidak asing dengan ungkapan kerinduan orang-orang salih untuk segera bertemu dengan Tuhannya sebagaimana Muhammad dalam Mi’rajnya. Bahkan konon ketika Nabi Ibrahim ‘mendebat’ malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya sembari berkata, ‘mana ada kekasih yang tega mencabut nyawa kekasihnya sendiri,’ lantas Allah SWT menjawab, ‘mana ada kekasih yang tidak ingin segera berjumpa dengan yang dikasihinya’. Atas jawaban itulah Ibrahim pun dengan mantap menyambut kedatangan ajalnya.
Peristiwa pertemuan antara Rasulullah SAW dengan Allah SWT ini, bagi Iqbal dipandang sebagai puncak akhir dari perjalanan hidup manusia yang paling diidamkan. Sehingga wajar kalau Iqbal berkata bahwa seandainya dirinya yang dimi’rajkan, ia lebih memilih tidak mau kembali lagi ke bumi. Pertanyaannya adalah kenapa Rasulullah SAW memilih kembali lagi ke dunia ini?
Selain demi menjalankan perintah Allah SWT untuk menyampaikan perintah salat salah satunya, kembalinya Rasulullah Saw ke dunia ini sehabis Mi’raj, oleh sebagian pendapat dipandang sebagai wujud cinta dan kasih sayang Rasulullah SAW karena lebih memilih menemani dan membimbing umatnya dengan penuh kesucian hatinya daripada menetap di sisi Allah SWT. Karena itulah beberapa kalangan menyebut bahwa pengorbanan dan jasa terbesar Rasulullah SAW adalah kerelaan beliau untuk kembali ke dunia, tidak memilih ‘menetap’ di hadapan Allah SWT di mana semua orang-orang salih justru mendambakan untuk selalu berada sedekat mungkin dengan-Nya.
Nilai-nilai cinta dan kasih sayang inilah yang kemudian diperjuangkan oleh para ulama, termasuk Iqbal dalam karya-karya syairnya. Artinya, di antara pesan-pesan luhur dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini adalah pentingnya menebarkan cinta dan kasih sayang di sepanjang pergaulan hidup ini, mencegah terjadinya destruksi, kemungkaran, penganiayaan, kezaliman serta berbagai tindakan barbar, teror dan kejahatan lainnya. Hal ini selaras dengan perintah salat di mana Allah SWT dalam firman-Nya menyatakan bahwa sesungguhnya salat itu dapat mencegah keburukan dan kemungkaran. Wallahu A’lam Bisshawab.
*Rusdi, MA, guru PAI MAN 4 Kebumen