I. KEBIJAKAN PEMERINTAH PENJAJAH BELANDA DALAM PENGELOLAAN BIDANG AGAMA
Pada dasarnya politik penjajahan Hindia Belanda adalah sekuler, dengan dalih menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Karena sebagian terbesar rakyat Indonesia beragama Islam, dan dalam agama Islam mengandung unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem kenegaraan, maka Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengatur dan mengawasi bidang agama, demi menjaga keamanan dan ketertiban, serta kepentingan mereka sendiri sebagai negara kolonial.
Adapun sistem pengangkatan pejabat agama pribumi, soal perkawinan, kemasjidan dan lain-lain menjadi Urusan Departemen Binnenlands Bestuur (Departemen Dalam Negeri) melalui para residen dan bupati.
Sedangkan tugas pemerintahan Departemen Binnenlands Bestuur di bidang agama diserahkan kepada penghulu dan pegawainya. Hoofd Penghulu di ibu kota karesidenan dan penghulu di ibu kota kabupaten diangkat oleh Residen. Hoofd Penghulu juga bertugas sebagai penasehat pada Pengadilan Negeri. Namun ajunet penghulu dan pegawai rendahan lainnya diangkat oleh Bupati. Di samping itu, di tingkat kawedanan dan kecamatan diangkat penghulu naib dan stafnya.
Di kota-kota, dibangun masjid-masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan sebagai kantor untuk melaksanakan tugas-tugas yang terkait. Pembiayaan untuk keperluan pelaksanaan tugas-tugas itu dibebankan pada hasil penerimaan yang dipungut dari orang-orang yang melakukan perkawinan, perceraian dan perujukan. Termasuk dalam pembiayaan itu ialah gaji yang diberikan pada para karyawan atau petugas.
Dari perjalanan yang panjang itu dibangun pula Raad Agama atau Pengadilan Agama, terutama di ibukota Kabupaten, untuk menyelesaikan perkara-perkara mengenai soal nikah, talak dan rujuk. Semula perkara waris juga diselesaikan di Pengadilan Agama, namun akhirnya dicabut dan menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk menyelesaikannya.
Pada saat pendudukan tentara Jeoang, pengelolaan bidang agama tidak ada perubahan.
II. PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA MEMBENTUK DEPARTEMEN AGAMA
Walaupun kedudukan pemerintah Jepang dalam sidang-sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), masalah eksistensi Departemen Agama pernah menjadi perdebatan, namun kenyataannya Departemen Agama lahir atas usul dan inisiatif Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNPI).
Melalui usul dan inisiatif K.H. Abu Dardiri dan kawan-kawan, wakil dari KNI (Komite Nasional Indonesia) daerah Banyumas, yang diformulasikan oleh K.H Saleh Su’aidi dalam sidang Pleno BP-KNPI tanggal 25 Nopember 1945 di Jakarta, pemerintah didesak agar dalam Negara Republik Indonesia yang sudah merdeka ini, jangan sampai urusan agama hanya disambilalukan saja kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, atau pada Departemen lainnya. Masalah ini harus diurus oleh Departemen tersendiri. Maka tanpa melalui pemungutan suara lagi, dan melihat hasrat umat yang kuat, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang kemudian menyatakan, “Adanya departemen tersendiri mendapat perhatian Pemerintah”. Selanjutnya secara yuridis formal keluarlah Penetapan Pemerintah tanggal 3 Januari 1946 No. 1/SD, yang berbunyi di antaranya: “Presiden Republik Indonesia mengingat usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat,(BPKNDI) memutuskan mengadakan Departemen Agama”.
Penetapan pemerintah ini, dikumandangkan RRI dan disiarkan oleh pers dalam dan luar negeri, dengan H.M Rasjid, BA sebagai Menteri Agama yang pertama kali. Penetapan ini di samping sebagai realisasi pasal 29 UUD 1945, juga sebagai imbalan dan penghargaan atas sikap umat Islam, yang bersedia mencoret tujuh kata dalam “Piagam Jakarta”, yaitu :“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. (Pokok-pokok Organisai Departemen Agama. 1984 , 34).
Setelah Departemen Agama berdiri, maka disusun organisasi Departemen Agama dari Pusat sampai Daerah. Sesuai dengan perkembangan tugas yang ada dan ruang lingkup wewenangnya, maka istilah dan nama instansi vertikalnya juga berubah-rubah sehingga instansi di kabupaten mengalami perubahan pula, mulai dari Kantor Kepenghuluan, Kantor Agama Kabupaten, Kantor Urusan Agama Kabupaten, Dinas Urusan Agama, Perwakilan Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama Kabupaten berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 18 tahun 1975 tanggal 16 April 1975.
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan Kantor Departemen Agama, tumbuh dan berkembnag pula instansi-instansi lain di lingkungan Departemen Agama di Daerah Tingkat II Kabupaten, seperti Urusan Agama, Pendidikan Agama, Penerangan Agama dan Sekolah-sekolah Agama Negeri.
Pengadilan Agama terpisah dari Kantor Urusan Agama sejak tahun 1948, sewaktu Pengadilan Agama menjadi instansi tersendiri dengan Ketua Pengadilan Agama sebagai kepalanya dan dibantu para staf, dan pegawai termasuk panitera.
Dan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II melalui Peraturan Presiden No. 47/ 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara mengubah semua bentuk Departemen, Kantor Menteri Negara dan Kantor Koordinator menjadi Kementerian Negara. PP No 47/ 2009 yang dikeluarkan 3 November 2009, merupakan aturan pelaksanaan dari UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Selanjutnya diterbitkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor I Tahun 2010 tertanggal 28 Januari 2010 tentang Perubahan Penyebutan Departemen Agama menjadi Kementerian Agama. Kemudian melalui Surat Edaran Nomor : ND/SJ/19/2010 tentang Perubahan Penyebutan Departemen Agama menjadi Kementerian Agama, yang ditujukan kepada para Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten / Kota.